Strategi Militer Baru China Ubah Ketegangan Selat Taiwan

Ppmi mesir – Saya tinggal di Taiwan dari 2019 hingga 2023 dan menyaksikan langsung transformasi hubungan China-Taiwan. Pengerahan 70 kapal militer China pada Mei 2025 menandai taktik baru yang lebih agresif. China kini tidak lagi mengandalkan latihan militer sesekali. Mereka justru menerapkan tekanan sistematis dan berkelanjutan.

“Baca Juga: Pasutri Baru Nikah Nekat Curi 4 Motor demi Bertahan Hidup

Gray Zone Warfare: Tekanan Tanpa Perang Terbuka

China memakai strategi “gray zone warfare” untuk menekan Taiwan tanpa menimbulkan perang terbuka. Strategi ini mengandalkan tekanan psikologis dan manuver militer yang konstan. Sepanjang Mei 2025, 75 pesawat militer dan 30 kapal tanpa dokumen terlihat di dekat Taiwan.

Strategi ini lebih efektif daripada latihan militer berskala besar. Taiwan dipaksa siaga tinggi secara terus-menerus. Hal ini menguras sumber daya dan meningkatkan tekanan psikologis masyarakat Taiwan.

Taiwan Menunjukkan Resiliensi di Tengah Tekanan

Masyarakat Taiwan justru memperkuat identitas nasional mereka saat tekanan meningkat. Survei menunjukkan dukungan terhadap status quo meningkat saat Beijing memperlihatkan kekuatan militernya. Reaksi ini memperlihatkan bahwa strategi intimidasi China tidak membuahkan hasil politik.

Ketegangan Meluas ke Asia Timur dan Pasifik

Strategi militer China tidak hanya berdampak di Selat Taiwan. Aktivitasnya kini meluas hingga Laut Kuning, memicu reaksi dari Korea Selatan dan Jepang. Wilayah rantai pulau pertama, termasuk Okinawa, Taiwan, dan Filipina, menjadi titik krusial dalam perebutan pengaruh antara China dan Amerika Serikat.

Serangan diplomatik antara China dan Jepang karena pelanggaran wilayah udara memperkuat risiko eskalasi regional. Pernyataan Menteri Pertahanan AS di Singapura tentang kemungkinan penggunaan kekuatan oleh China menambah ketegangan.

Respons Indonesia dan ASEAN Dituntut Lebih Tegas

Bagi Indonesia, stabilitas di Selat Taiwan krusial. Jalur perdagangan Indonesia ke Asia Timur melewati wilayah ini. Konflik akan berdampak langsung pada ekonomi nasional.

ASEAN harus mencari cara lebih efektif untuk mencegah konflik. Meskipun prinsip non-intervensi masih berlaku, ASEAN bisa menjadi fasilitator dialog informal antara semua pihak yang terlibat. Pengalaman di Laut China Selatan dapat menjadi acuan diplomasi yang lebih konstruktif.

Dialog dan Komunikasi Jadi Kunci Cegah Konflik

Dengan meningkatnya intensitas tekanan militer China, semua pihak harus menyiapkan respons jangka panjang. Taiwan dan China akan menghadapi momen politik penting menjelang 2028. Beijing kemungkinan terus meningkatkan tekanan saat momentum politik meningkat.

Untuk mencegah konflik, diperlukan komunikasi darurat dan jalur diplomatik informal. Forum akademik dan bisnis bisa menjembatani komunikasi saat diplomasi formal menemui jalan buntu.

“Baca Juga: Kontroversi Panjang Bayangi Presiden Korea Selatan Baru

Kesimpulan: Waspadai Eskalasi, Perkuat Diplomasi

Transformasi strategi militer China di Selat Taiwan menunjukkan pola baru yang berbahaya. Strategi ini mengubah konflik episodik menjadi tekanan berkelanjutan. Semua pihak, termasuk Indonesia dan ASEAN, harus mempersiapkan langkah konkret. Tujuannya adalah menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan Asia-Pasifik.